Jakarta - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ngotot akan membangun kantor dengan anggaran Rp 823 miliar di 33 provinsi di Indonesia. Alasannya kantor sangat dibutuhkan guna menyerap aspirasi di daerah.
Selama ini dalam waktu satu minggu, para senator berkantor di dua tempat, yaitu setengah di Jakarta dan setengah lagi berada di kampung atau daerah konstituennya.
"Kami membutuhkan kantor di daerah. Jadi ada dua kantor di daerah dan di Jakarta. Pembangunan kantor ini menjadi kebutuhan mendesak dan sudah diamanatkan di dalam konstitusi,” kata Ketua DPD Irman Gusman kepada detikcom.
Wakil Ketua DPD Laode Ida pun menegaskan pembangunan kantor bagi anggotanya di daerah tidak bisa dibatalkan, karena sudah diatur di dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) atau UU Parlemen. Yang bisa diubah atau didiskusikan lagi hanya rancangan dan desain kantor baru DPD.
"Kalau mau dievaluasi anggaran tapi tidak bisa dibatalkan karena sudah diatur dalam UU Parlemen," ujar Laode.
Alasan DPD yang berkilah memakai tameng UU Parlemen dikritik Ketua DPR Marzuki Alie. Ia mengungkap bila sesuai UU MD3 pasal 227 UU ayat 4, DPD berdomisili dan berkantor di daerahnya. Dengan demikian mereka tidak perlu kantor di Jakarta.
"Karena sekarang sudah berkantor di Jakarta, maka harusnya kantor di daerah seadanya saja. Kantor di Jakarta sendiri itu melanggar konstitusi.Mereka kalau datang ke Jakarta tujuannya untuk dinas dan bukan kalau datang ke daerah mereka dihitung melakukan perjalanan dinas," kritis Marzuki.
Marzuki menduga ada mark up dalam pembangunan gedung DPD. Tapi tudingan ini dibantah Sekjen DPD Siti Nurbaya. Ia menjamin tidak akan ada mark up. Buktinya, selama ini anggota DPD selalu memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN).
"Karena DPD di pemeriksaan BPK selalu rangking tertinggi. Hasilnya wajar tanpa pengecualian. Anggota DPD 100 persen sudah menyerahkan LHKPN," tegasnya.
Meski DPD memaparkan betapa pentingnya kantor Rp 823 miliar itu dan memberi jaminan tidak ada mark up, alasan pembangunan itu tetap dinilai tidak jelas. Pembangunan ini sama tidak jelasnya dengan rencana pembangunan gedung DPR yang akhirnya dibatalkan.
"Sama dengan DPR reasonnya apa. Membangun gedung baru itu ada aturan mainnya yang biasanya mengikuti standar PU (Pekerjaan Umum), seperti luas gedung harga satunya berapa," kritik peneliti ICW Ade Irawan.
Proses pembangunan gedung perwakilan DPD dinilai lebih tertutup dibanding gedung DPR. Rencana pembangunan gedung DPR meskipun kontroversial, namun prosesnya tetap dilakukan terbuka. Berbeda jauh dengan proses pembangunan gedung DPD ini.
“Beda dengan DPR, walau kontroversi tapi kita masih mudah mendapatkan mengenai berbagai proses pembangunannya. DPD justru sangat tertutup,kita sangat sulit mendapatkan data-datanya. DPR masih mengumumkan itu di situsnya sementara DPD tidak,” ungkap Ade.
DPD semestinya harus tetap ada skala prioritas. Diingatkan masalah pembangunan gedung selalu membutuhkan sensitivitas. DPD harus instropeksi diri lagi apa yang diperjuangkan, rakyat atau kepentingan sendiri.
“Semestinya DPD belajar banyak dari pembangunan gedung DPR yang membuang energi dan bukan malah mencontoh kesalahan DPR. Jangan sampai DPD dibilang memiliki telinga yang lebih tebal dari DPR,” ucap Ade.
Keinginan membangun gedung baru juga tidak tepat waktu sebab selama ini DPD belum menunjukkan kinerja yang maksimal bahkan nyaris tidak ada gaungnya. Peran DPD masih sangat terbatas padahal di tiap-tiap daerah sudah punya sekretariat.
Seharusnya untuk mendapatkan kepercayaan dan legitimasi dari publik, DPD memprioritaskan memperjuangkan penguatan kewenangan bukan fasilitas terlebih dahulu.
Kalau belum apa-apa, DPD sudah menuntut gedung yang megah, bisa-bisa rakyat tidak mendukung kalau DPD ingin memperkuat kewenangannya.
Juga dikhawatirkan gedung mewah justru membuat rakyat di daerah yang mayoritas sederhana jadi sungkan untuk menyampaikan aspirasinya pada para senator.
"DPD tidak malu membangun gedung senilai Rp 20 miliar sampai Rp 30 miliar di daerah-daerah yang kondisinya miskin. Rakyat daerah malah takut nantinya mau menyampaikan aspirasi ke kantor DPD dan DPD malah akan menjadi menara gading di daerahnya," kata Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yuna Farhan.
Yuna juga mempertanyakan kenapa anggaran pembangunan kantor baru anggota DPD di 33 provinsi bisa menjadi Rp 823 miliar. Padahal, dari data yang diperoleh FITRA dari Rincian Angaran Belanja Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2011 disebutkan pembangunan kantor baru DPD di ibukota provinsi itu sebesar Rp 339,5 miliar.
Sementara untuk pembangunan kantor baru di ibukota dianggarkan sekitar Rp 4,6 miliar. Juga pengadaan sarana dan prasarana perkantoran DPD di ibukota negara ditetapkan sebesar Rp 16.527.750.000.
Pengadaan sarana dan prasarana perkantoran DPD di ibukota provinsi sebesar 29.165.400.000 dan untuk Pengadministrasian kantor DPD di Ibukota provinsi ditetapkan Rp 366 juta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar