Rabu, 20 Juli 2011

Pemilu Langsung Adalah Demokrasi Atau Euforia Belaka!


Selama ini demokrasi selalu menjadi kambing hitam untuk sebuah kegiatan yang belum tepat. bagaimana di sebuah negara yang sedang mengalami masa transisi sudah berani menerapkan sistem pemilu secara langsung. yang kita semua tahu untuk melaksanakan sistem pemilu langsung ini di butuhkan persiapan dan kematangan dalam berdemokrasi, bagaimana mungkin di sebuah negara transisi telah berani  melangkah jauh kedepan melampaui dari kemampuan dan kesiapan yang dimilikinya.

Sabtu, 16 Juli 2011

Panja pemilu dan kasus M. Nazaruddin ya, itulah yang belakangan ini selalu menjadi isu dan headline dari berita baik di media elektronik maupun media cetak. bahkan untuk media elektronik ini menjadi The Running Text. dan memang tidak bisa munafikan bahwa memang itulah sekarang yang menjafdi perhatian masyarakat. kerena seorang kader partai nazaruddin yang di anggap masih belia di kancah politik sudah mampu menggetarkan partainya juga sudah mulai mengusik para pejabat yang di duga ada kaitannya dengan nazaruddin.

Sabtu, 09 Juli 2011

BENARKAH KORUPSI SUDAH MEMASYARAKAT DI NEGERI INI?



Belakangan kata "Korupsi" semakin sering mengiang di telinga kita, karena keterbukaan informasi maka setiap kasus yang menyangkut korupsi begitu cepat terekspose. hal ini bukan semata-mata karena kasus korupsi itu di ekspose melainkan karena kini kasusu korupsi itu sudah jamaka dan berjamaah.

LAGI-LAGI PARA PENEGAK KEADILAN.

Masih segar dalam ingatan kita ketika tahun 2009 mencuatnya kasus pencemaran nama baik oleh prita mulyasari yang akibat dari pelayanan yang di berikan oleh sebuah RS kurang baik sehingga prita membuat atau menulis keluhannya di media elektronik yaitu melalui email yang di tulis untuk temannya. Namun tak di duganya bahwa apa yang dilakukan tersebut telah membawa damapk yang besar baginya sehingga prita pun di gugat oleh piha RS yang mengharuskan prita membayar ganti rugi sebesar 204 juta rupiah.

BEGINIKAH WAJAH PENEGAKAN HUKUM DI NEGERI TERCINTA.


Jakarta - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi jaksa dan menyatakan Prita Mulyasari bersalah karena menyebarkan rasa ketidakpuasannya tehadap layanan RS Omni International, Tangerang. Prita diminta tidak tinggal diam dan segera mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

"Prita cepat buat PK. Jangan dieksekusi dulu, nanti ditahannya lagi orang itu, artinya nunggu PK-nya dulu baru diputus," tutur Anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Gerindra, Martin Hutabarat kepada detikcom, di Warung Daun, Jl Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (9/7/2011).

EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK SATU ATAP


A.    Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara yaitu dalam berbagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat. 

Minggu, 03 Juli 2011

NILAI HAKIKI DARI SEBUAH DEMOKRASI

Akhir-akhir ini demokrasi begitu menjadi wacana di kalangan internasional setelah beberapa negara yang sebelumnya melakukan gerakan reformasi atau apapun itu namanya untuk menggantikan sebuah rezim dari pemerintahan sebelumnya seperti yang di lakukan di indonesia pada tahun 1998. dan belakangan ini gerakan semacam ini muncul lagi di

Sabtu, 02 Juli 2011

KEPALSUAN DEMOKRASI DI NEGARA TERCINTA

Suasana hiruk pikuk perpolitikan selalu terjadi di negara kita ini, padahal yang katanya negara kita begitu di pandang oleh negara-negara lain di dunia karena di nilai berhasil menerapkan demokrasi dengan baik pasca reformasi 1998. Namun jika kita lihat lebih dalam lagi tentang keadaan demokrasi di

SEBENARNYA DPD BUTUH KEWENANGAN BUKAN GEDUNG MEWAH

 Jakarta - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ngotot akan membangun kantor dengan anggaran Rp 823 miliar di 33 provinsi di Indonesia. Alasannya kantor sangat dibutuhkan guna menyerap aspirasi di daerah. 

Selama ini dalam waktu satu minggu, para senator berkantor di dua tempat, yaitu setengah di Jakarta dan setengah lagi berada di kampung atau daerah konstituennya. 

"Kami membutuhkan kantor di daerah. Jadi ada dua kantor di daerah dan di Jakarta. Pembangunan kantor ini menjadi kebutuhan mendesak dan sudah diamanatkan di dalam konstitusi,” kata Ketua DPD Irman Gusman kepada detikcom.

Wakil Ketua DPD Laode Ida pun menegaskan pembangunan kantor bagi anggotanya di daerah tidak bisa dibatalkan, karena sudah diatur di dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) atau UU Parlemen. Yang bisa diubah atau didiskusikan lagi hanya rancangan dan desain kantor baru DPD.

"Kalau mau dievaluasi anggaran tapi tidak bisa dibatalkan karena sudah diatur dalam UU Parlemen," ujar Laode.

Alasan DPD yang berkilah memakai tameng UU Parlemen dikritik Ketua DPR Marzuki Alie. Ia mengungkap bila sesuai UU MD3 pasal 227 UU ayat 4, DPD berdomisili dan berkantor di daerahnya. Dengan demikian mereka tidak perlu kantor di Jakarta.

"Karena sekarang sudah berkantor di Jakarta, maka harusnya kantor di daerah seadanya saja. Kantor di Jakarta sendiri itu melanggar konstitusi.Mereka kalau datang ke Jakarta tujuannya untuk dinas dan bukan kalau datang ke daerah mereka dihitung melakukan perjalanan dinas," kritis Marzuki.

Marzuki menduga ada mark up dalam pembangunan gedung DPD. Tapi tudingan ini dibantah Sekjen DPD Siti Nurbaya. Ia menjamin tidak akan ada mark up. Buktinya, selama ini anggota DPD selalu memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN). 
 
"Karena DPD di pemeriksaan BPK selalu rangking tertinggi. Hasilnya wajar tanpa pengecualian. Anggota DPD 100 persen sudah menyerahkan LHKPN," tegasnya.

Meski DPD memaparkan betapa pentingnya kantor Rp 823 miliar itu dan memberi jaminan tidak ada mark up, alasan pembangunan itu tetap dinilai tidak jelas. Pembangunan ini sama tidak jelasnya dengan rencana pembangunan gedung DPR yang akhirnya dibatalkan.

"Sama dengan DPR reasonnya apa. Membangun gedung baru itu ada aturan mainnya yang biasanya mengikuti standar PU (Pekerjaan Umum), seperti luas gedung harga satunya berapa," kritik peneliti ICW Ade Irawan.

Proses pembangunan gedung perwakilan DPD dinilai lebih tertutup dibanding gedung DPR. Rencana pembangunan gedung DPR meskipun kontroversial, namun prosesnya tetap dilakukan terbuka. Berbeda jauh dengan proses pembangunan gedung DPD ini. 

“Beda dengan DPR, walau kontroversi tapi kita masih mudah mendapatkan mengenai berbagai proses pembangunannya. DPD justru sangat tertutup,kita sangat sulit mendapatkan data-datanya. DPR masih mengumumkan itu di situsnya sementara DPD tidak,” ungkap Ade.

DPD semestinya harus tetap ada skala prioritas. Diingatkan masalah pembangunan gedung selalu membutuhkan sensitivitas. DPD harus instropeksi diri lagi apa yang diperjuangkan, rakyat atau kepentingan sendiri. 

“Semestinya DPD belajar banyak dari pembangunan gedung DPR yang membuang energi dan bukan malah mencontoh kesalahan DPR. Jangan sampai DPD dibilang memiliki telinga yang lebih tebal dari DPR,” ucap Ade.

Keinginan membangun gedung baru juga tidak tepat waktu sebab selama ini DPD belum menunjukkan kinerja yang maksimal bahkan nyaris tidak ada gaungnya. Peran DPD masih sangat terbatas padahal di tiap-tiap daerah sudah punya sekretariat. 

Seharusnya untuk mendapatkan kepercayaan dan legitimasi dari publik, DPD memprioritaskan memperjuangkan penguatan kewenangan bukan fasilitas terlebih dahulu.

Kalau belum apa-apa, DPD sudah menuntut gedung yang megah, bisa-bisa rakyat tidak mendukung kalau DPD ingin memperkuat kewenangannya. 

Juga dikhawatirkan gedung mewah justru membuat rakyat di daerah yang mayoritas sederhana jadi sungkan untuk menyampaikan aspirasinya pada para senator.

"DPD tidak malu membangun gedung senilai Rp 20 miliar sampai Rp 30 miliar di daerah-daerah yang kondisinya miskin. Rakyat daerah malah takut nantinya mau menyampaikan aspirasi ke kantor DPD dan DPD malah akan menjadi menara gading di daerahnya," kata Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yuna Farhan.

Yuna juga mempertanyakan kenapa anggaran pembangunan kantor baru anggota DPD di 33 provinsi bisa menjadi Rp 823 miliar. Padahal, dari data yang diperoleh FITRA dari Rincian Angaran Belanja Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2011 disebutkan pembangunan kantor baru DPD di ibukota provinsi itu sebesar Rp 339,5 miliar. 

Sementara untuk pembangunan kantor baru di ibukota dianggarkan sekitar Rp 4,6 miliar. Juga pengadaan sarana dan prasarana perkantoran DPD di ibukota negara ditetapkan sebesar Rp 16.527.750.000.

Pengadaan sarana dan prasarana perkantoran DPD di ibukota provinsi sebesar 29.165.400.000 dan untuk Pengadministrasian kantor DPD di Ibukota provinsi ditetapkan Rp 366 juta.