Sabtu, 09 Juli 2011

EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK SATU ATAP


A.    Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara yaitu dalam berbagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat. 
Dengan kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu harus atau perlu adanya suatu pelayanan. Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.
Peraturan perundangan Indonesia telah memberikan landasan untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang berdasarkan atas Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme menyebutkan asas-asas tersebut, yaitu Asas Kepastian Hukum, Transparan, Daya Tanggap, Berkeadilan, Efektif dan Efisien, Tanggung Jawab, Akuntabilitas dan Tidak Menyalahgunakan Kewenangan. Asas ini dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi, disamping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintahan. Meskipun merupakan asas,tidak semuanya merupakan pemikiran yang umum dan abstrak, dan dalam beberapa hal muncul sebagai aturan hukum yang konkret atau tertuang secara tersurat dalam pasal undang-undang serta mempunyai sanksi tertentu. Pelayanan publik merupakan program nasional untuk memperbaiki fungsi pelayanan publik, pelayanan publik diartikan sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga masyarakat. Pelayanan publik dibatasi pada pengertian pelayanan publik merupakan segala bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparat pemerintah dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.Pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat untuk kesejahteraan sosial. Sehingga perlu memperhatikan nilai-nilai, sistem kepercayaan, religi, kearifan lokal serta keterlibatan masyarakat. Perhatian terhadap beberapa aspek ini memberikan jaminan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan merupakan ekspresi kebutuhan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, ada jaminan bahwa pelayanan publik yang diberikan akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki pelayanan publik tersebut sehingga pelaksanaannya diterima dan didukung penuh oleh masyarakat.
Seiring dengan diberlakukannya undang-undang otonomi daerah, maka berbagai aturan main di daerah terjadi perubahan paradigma, bahkan perubahan paradigma tersebut hampir di setiap lini kehidupan di daerah, termasuk diantaranya perubahan paradigma pelayanan publik di daerah. Paradigma pelayanan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, memberikan arah tejadinya perubahan atau pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari paradigma rule government bergeser menjadi paradigma good governance. Pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai regulator (rulegovernment) harus mengubah pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik, Pemerintah Daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat, untuk mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, akuntabilitas dan keadilan.
Pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin strategis karena perbaikan pelayanan publik di Indonesia cenderung “berjalan di tempat” sedangkan implikasinya sangatlah luas dalam kehidupan ekonomi, politik, social budaya dan lain-lain. Dalam kehidupan ekonomi,perbaikan pelayanan publik akan bias memperbaiki iklim investasi yang sangat diperlukanbangsa ini agar bias segera keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Buruknyapelayanan publik di Indonesia seing menjadi variable yang dominant mempengaruhipenurunan investasi yang berakibat pada pemutusan hubungan kerja. Sayangnya, perbaikanperbaikan pelayanan publik dalam berbagai studi yang dilakukan tidaklah berjalan linierdengan reformasi yang dilakukan dalam berbagai sektor sehingga pertumbuhan ekonomi yangdiharapkan dapat menolong bangsa ini keluar dari berbagai krisis ekonomi belum terwujud (Sinambela, 2006). Rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia sudah lama menjadi keluhan masyarakat. Para pengusaha mengeluh mengenai rumit dan mahalnya harga pelayan,sementara masyarakat sering mengalami kesulitan untuk memperoleh akses terhadap pelayanan publik, sedangkan pelayanan publik pada hakikatnya dirancang dan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan membangun kinerja pelayanan publik yang baik, sesungguhnya pemerintah bisa membangun hubungan yang baik dengan masyarakat dan memperluas legitimasinya di mata publik (Policy Brief, 2001). Salah satu buah dari reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa pada tahun 1998 adalah dengan diberlakukannya otonomi daerah. Dengan otonomi daerah, maka harapan akan berubahnya bentuk pelayanan ke arah yang lebih baik menjadi terbuka. Karena salah satu dari tujuan di berlakukannya otonomi daerah (menurut UU No. 22 Tahun 1999 dan sekarang diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004), adalah peningkatan kualitas pelayanan publik. Hal ini akan ditandai dengan berubahnya bentuk pelayanan, dari pelayanan yang sulit menjadi mudah, yang mahal menjadi murah, yang tadinya memakan waktu yang lama menjadi lebih cepat, dan yang jauh menjadi lebih dekat.Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnyakesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, selama ini didasarkan pada pendekatan paradigma rule government (legalitas) yang dalam prosesnya senantiasa menyandarkan atau berlindung pada peraturan perundang-undangan, atau mendasarkan pada pendekatan legalitas.
Penggunaan paradigma rule government atau pendekatan legalitas, dewasa ini cenderung mengedepankan prosedur, urusan dan kewenangan, dan kurang memperhatikan proses, serta tidak melibatkan stakeholder baik di lingkungan birokrasi, maupun masyarakat yang berkepentingan. Perubahan signifikan pada pelayanan publik, dengan sendirinya akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan berpengaruh terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, menunjukkan indikasi membaiknya kinerja manajemen pemerintahan, dan disisi lain menunjukkan adanya perubahan sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan menjadi lebih baik. Meningkatnya kualitas pelayanan publik, sangat dipengaruhi oleh kepedulian dan komitmen toppimpinan/top manajer dan aparat penyelenggara untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik. Tidak kalah pentingnya, pelayanan publik yang baik akan berpengaruh menutup peluang dan/atau mempersempit terjadinya peluang KKN, yang dewasa ini telah merebak disemua lini ranah pelayanan publik, serta dapat menghilangkan diskriminasi pelayanan.Dalam konteks pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, perbaikan atau peningkatan kualitas pelayanan publik yang dilakukan pada jalur dan cara yang benar,memiliki nilai strategis dan bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas (masyarakat dan swasta).
Paradigma good governance sangat relevan dan menjiwai kebijakan pelayanan public yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan, mengubah sikap, mental dan perilaku aparat penyelenggara pelayanan, serta menumbuhkan kepedulian dan komitmen pimpinan dan aparat penyelenggara dalam memberikan pelayanan. Pelaksanaan kebijakan pelayanan publik yang dilandasi prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, sangat ditentukan oleh kepedulian dan komitmen pimpinan daerah dan aparat penyelenggaranya. Pemerintahan daerah pada dasarnya mempunyai dua peran, yaitu sebagai lembaga penyedia pelayanan dan sebagai institusi politik, pelaksanaan kedua peran tersebut harusterintegrasi. Dalam memberikan pelayanan publik, Pemerintahan Daerah harus mengetahui dan memahami kebutuhan, serta memperhatikan aspirasi masyarakat pemilihnya.
Undang-Undang Pelayanan Publik (secara resmi bernama Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) adalah undang-undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. perlayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan atau kooporasi yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik. Sementara itu Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah selalu dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara Iangsung maupun melalui media massa. Pelayanan publik perlu dilihat sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Dalam hal ini penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya yang di selenggarakan oleh pemerintah semata tetapi juga oleh penyelenggara swasta.
Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Pada saat ini persoalan yang dihadapi begitu mendesak, masyarakat mulai tidak sabar atau mulai cemas dengan mutu pelayanan aparatur pemerintahan yang pada umumnya semakin merosot atau memburuk. Pelayanan publik oleh pemerintah lebih buruk dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan oleh sektor swasta, masyarakat mulai mempertanyakan apakah pemerintah mampu menyelenggarakan pemerintahan dan atau memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat. Sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk di Indonesia selama ini telah menjadi rahasia umum bagi setiap masyarakat sebagai penerima layanan, ungkapan ini tidaklah berlebihan ketika melihat fakta bahwa hak sipil warga sering dilanggar dalam proses pengurusan identitas penduduk seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pembuatan KTP yang seharusnya mudah, dipersulit dengan banyaknya meja dan rangkaian prosedur yang harus dilalui. Keluhan-keluhan seperti inilah yang sering muncul dari masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik terutama dari rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan. Untuk itu, apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik sering atau selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan efektif, birokrasi sering kali dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang sesuai dan tepat, serta sering birokrasi dalam pelayanan publik itu sangat merugikan masyarakat sebagai konsumennya. Hal ini sangat memerlukan perhatian yang besar, seharusnya birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik itu memudahkan masyarakat menerima setiap pelayanan yang diperlukannya, seharusnya pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan terhadap masyarakat itu mempermudahkannya, bukan mempersulit.
Penyelenggaraan pemerintahan ditujukan kepada terciptanya fungsi pelayanan publik, pemerintahan yang baik cenderung menciptakan terselenggaranya fungsi pelayanan publik dengan baik pula, sebaliknya pemerintahan yang buruk mengakibatkan fungsi pelayanan publik tidak dapat terselenggara dengan baik. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengangkat judul efektivitas penyelenggaraan pelayanan publik satu atap di tinjau dari tingkat kepasanan masyarakat di dinas kependudukan dan catatan sipil kota denpasar.


B.  Identifikasi Masalah
Sebuah negara dibentuk oleh masyarakat di suatu wilayah tidak lain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama setiap anggotanya dalam koridor kebersamaan. Dalam angan setiap anggota masyarakat, negara yang dibentuk oleh mereka ini akan melaksanakan fungsinya menyediakan kebutuhan hidup anggota berkaitan dengan konstelasi hidup berdampingan dengan orang lain di sekelilingnya. Di kehidupan sehari-hari, kebutuhan bersama itu sering kita artikan sebagai “kebutuhan publik”. Contoh sederhana, Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah kebutuhan publik bagi setiap orang yang sudah memenuhi persyaratan tertentu. Tanpa KTP, seseorang akan mengalami kesulitan dalam berurusan dengan orang lain atau sebuah institusi. KTP perlu dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang yang dibentuk dan ditunjuk oleh negara, seperti kelurahan atau desa.
Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, negara kemudian membentuk organisasi pemerintahan. Di Indonesia kita kenal sturktur pemerintahan negara dari level paling atas yakni presiden hingga ke level terbawah, Rukun Warga dan Rukun Tetangga (RW/RT). Karena negara dibentuk oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan publik anggotanya, maka sesungguhnya pelayanan publik adalah kewajiban utama seluruh aparatur pemerintah di setiap jenjang pemerintahan dan setiap jenis pelayanan publik. Sebagai sebuah kewajiban, maka sudah semestinya setiap aparat negara memberikan pelayanan publik yang terbaik.
Penelitian ini akan memberikan gambaran dari efektivitas penyelenggaraan pelayanan publik satu atap di tinjau dari tingkat kepuasan masyarakat.

C.  Pembatasan Masalah
Mengingat keterbatasan kemampuan dari penulis agar tidak tejadi perluasan masalah dan mampu dihasilkan penelitian yang objektif maka dilakukan pembatasan masalah dalam penelitian ini yakni:
1. Variabel bebas yaitu variabel yang dalam penelitian ini penulis batasi pada pengaruh fungsi Badan Permusyawaratan Desa.
2. Variabel terikat yakni variabel yang timbul sebagai akibat dari variabel bebas, yang dalam penelitian ini adalah efektivitas penyelenggaraan pemerintahan desa.
     Jadi pembahasan ditekankan pada masalah efektivitas penyelenggaraan pelayanan publik satu atap di tinjau dari tingkat kepuasan masyarakat.
D.  Perumusan Masalah
Untuk mengadakan suatu penelitian agar hasil penelitian itu dapat dikatakan mempunyai nilai ilmiah, maka penelitian harus melalui prosedur penelitian, dimana masalah harus diungkapkan atau dirumuskan terlebih dahulu sebelum peneliti berangkat ke lapangan untuk mengumpulkan data. Menurut para akademisi yang mendefinisikan apa itu masalah, penulis kutip beberapa pendapat yang memberikan pengertian apa itu masalah.
Menurut pendapat Husein Umar (2004:44) “Masalah atau peluang didefinisikan sebagai gap antara harapan yang ingin di dapat dan kenyataan yang terjadi. Jika gap bernilai negatif-harapan lebih besar dari kenyataan dan dianggap sudah berada diluar batas toleransi, maka titik tolak riset akan berdasarkan pada masalah. Sedangkan jika sebaliknya, gap yang bernilai positif dan sudah berada diluar batas harapan, maka titik tolak riset berdasarkan pada peluang-peluang”.
Menurut Cholid Narbuko (2004 : 30) “masalah harus bersifat spesifik dan jelas”. Karena masalah sangat berkaitan erat dengan tujuan penelitian, sehingga dalam perumusannya harus jelas.
Menurut M. Hariwijaya (2008 : 29) “Masalah adalah suatu pernyataan yang menunjukkan adanya suatu perbedaan antara harapan dengan kenyataan, antara rencana dan pelaksanaan, atau antara das sollen dengan das sein”.  Dalam hal ini masalah muncul karena adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan yang sesungguhnya ada, sehingga membutuhkan suatu upaya dalam pencapaian tujuan yang menjadi harapan tersebut.
Dari uraian diatas, dan berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis dapat mengemukakan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 
Bagaimanakah efektivitas penyelenggaraan pelayanan publik satu atap di Dinas kependudukan dan catatan Sipil Kota Denpasar  di tinjau dari tingkat kepuasan masyarakat ?

E.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.    Tujuan Penelitian
  Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus berikut:
a. Tujuan umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik khususnya bidang Administrasi Negara melalui pemahaman tentang efektivitas penyelenggaraan pelayanan publik satu atap.
b. Tujuan khusus
Secara khusus tujuan dari penelitian ini dalah sebagai syarat untuk meraih gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
2. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya sangat diharapkan dapat berguna baik yang bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut:
a. Kegunaan teoritis
secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan di bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya pada bidang Administrasi Negara berkenaan dengan peranan Badan Permusyawaratan Desa dalam pemerintahan desa. 
b. Kegunaan praktis
secara praktis, hasil penelitian ini dapat berguna baik untuk pemerintahan, masyarakat maupun universitas khususnya fakultas. Adapun manfaat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
1). Bagi Pemerintah Daerah pada umumnya dan Pemerintah Kota Denpasar pada khususnya, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan evaluasi dan dasar pertimbangan bagi pengembangan penyelenggaraan pelayanan publik satu atap.
2). Bagi Masyarakat, hasil penelitian ini diharapakan mampu menjadi acuan yang relevan dalam mendapatkan hak pelayanan publik yang prima.
3). Bagi fakultas, hasil penelitian ini merupakan sumbangan untuk menambah koleksi materi perpustakaan kampus dan diharapkan mampu menggugah minat untuk melanjutkan penelitian ini secara lebih mendalam ataupun mengenai masalah lain yang masih berkaitan dengan pelayanan Publik.


BAB II
KERANGKA TEORI
A.      TINJAUAN PUSTAKA 
Dalam tinjauan pustaka ini akan dikemukakan mengenai teori-teori yang diharapkan mampu menjalankan sekaligus sebagai pedoman pemecahan dari masalah. Disamping itu teori juga merupakan titik permulaan atau acuan dari pengajuan hipotesis yang akan dibuktikan kebenarannya. Teori merupakan titik permulaan dalam melangkah lebih lanjut yaitu dapat meneliti dan menguraikan suatu masalah atau topik yang akan diteliti berdasarkan pokok masalah yang telah ditetapkan.
Sehubungan dengan hal ini, maka penulis menggunakan beberapa teori yang menjadi landasan yakni tentang  pemerintah daerah, birokrasi, pelayanan publik satu atap, pelayanan prima, reformasi birokrasi, efektivitas,
1.    Pemerintah Daerah
Hakekat penyelenggaraan pemerintahan adalah pelaksanaan fungsi pelayanan kepada masyarakat yaitu mengenai pengalokasian sumber daya yang ada untuk di berikan kepada masyarakat. Dalam kerangka ini untuk meningkatkan kualitas pelayanan, maka pemerintah perlu didekatkan kepada masyarakat yang dilayani. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu membagi kekuasaan kepada pemerintah daerah (sharing of power dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dekat dengan masyarakat.
Berkaitan degan hal tersebut , sharing of power terjadi secara vertical antara pusat dan daerah yang memungkin daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan strategi yang bebas dari intervensi pusat berkaitan dengan fungsi pelayanan. Sementara itu, di pemerintah daerah juga terjadi sharing of power secara horizontal antara lembaga-lembaga di daerah dengan masyarakat yang membuka peluang lahirnyakebijakan yang mewakili aspirasi masyarakat sehingga kebijakan tersebut menjadi rendah derajat resistensinya (Fitriah,2001,h,103).
Definisi Pemerintahan Daerah berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 1 ayat 2, adalah sebagai berikut :“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”  Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan diatas, maka yang dimaksud pemerintahan daerah disini adalah penyelenggaraan daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi dan unsur penyelenggara pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah.
            Sedangkan menurut S. Pamudji dalam bukunya Kerja Sama Antar Daerah dalam Rangka Membina Wilayah menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Pemerintahan Daerah adalah :“Pemerintahan Daerah adalah daerah otonom diselenggarakan secara bersama-sama oleh seorang kepala wilayah yang sekaligus merupakan kepala daerah otonom.” (Pamudji,1985:15)
            Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan diatas, maka pengertian dari Pemerintahan Daerah pada dasarnya sama yaitu suatu proses kegiatan antara pihak yang berwenang memberikan perintah dalam hal ini pemerintah dengan yang menerima dan melaksanakan perintah tersebut dalam hal ini masyarakat.    Pemerintah daerah memperoleh pelimpahan wewenang pemerintahan umum dari pusat, yang meliputi wewenang mengambil setiap tindakan untuk kepentingan rakyat berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Urusan pemerintahan umum yang dimaksud sebagian berangsur-angsur diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai urusan rumah tangga daerahnya, kecuali yang bersifat nasional untuk menyangkut kepentingan umum yang lebih luas.
Sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun1945 dalam penjeasannya di Undang-undang nomor 32 tahun 2004, pemerintahdaerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahanmenurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat
Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunanpemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragamandaerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam (SDA) dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
2. Birokrasi
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Jadi pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). birokrasi adalah sebagai alat organisasi, di mana ia merupakan suatu otorita yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan. Birokrasi seringkali dimaksudkan sebagai upaya untuk mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Kinerja birokrasi sebenarnya  dapat dilihat melalui berbagai dimensi, seperti dimensi akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, responsivitas, maupun responsibiltas. Berbagai literatur yang membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki kesamaan substansial yakni untuk meihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil yang telah dilakukan oleh birokrasi pelayanan. Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dan berbagai indikator yang sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya. Perspektif yang digunakan oleh birokrasi sebagai pemberi layanan merupakn perspektif yang sebenarnya berasal dan pendekatan birokrasi yang cenderung menempatkan diri sebagai regulator danipada sebagai pelayan. Kineqa birokrasi pada awalnya banyak dipahanii oleh kalangan birokrasi hanya pada aspek responsibilitas, yakni sejauh mana pelayanan yang diherikan telah sesuai dengan aturan formal yang diterapkan. Pemberian pelayanan yang telah menunjuk kepada aturan formal dianggap telah memenuhi sendi-sendi pelayanan yang baik dan aparat pelayanan dianggap telah konsisten dalam menerapkan aturan hukum pelayanan.
Menurut Peter M. Blau (2000:4), birokrasi adalah “tipe organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis”. Birokrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Atau dalam definisinya yang lain birokrasi adalah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan yang banyak liku-likunya.
            Adapun Karakteristik birokrasi yang umum diacu adalah yang diajukan oleh Max Weber. Menurut Weber, paling tidak terdapat 8 (delapan) karakteristik birokrasi, yaitu :
1.      Organisasi yang disusun secara hirarkis
2.      Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.
3.      Pelayanan publik (civil sevants) terdiri atas orang-orang yang diangkat, bukan dipilih, di mana pengangkatan tersebut didasarkan kepada kualifikasi kemampuan, jenjang pendidikan, atau pengujian (examination).
4.      Seorang pelayan publik menerima gaji pokok berdasarkan posisi.
5.      Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir.
6.      Para pejabat/pekerja tidak memiliki sendiri kantor mereka.
7.      Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.
8.      Promosi yang ada didasarkan atas penilaiaj atasan (superior's judgments).
Birokrasi diciptakan untuk memberikan pelayanan kepada publik.  Dalam konteks ini birokrasi memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pemerintahan dalam menjalankan program dan kebijakannya untuk dirasakan publik. Birokrasi harus ditopang oleh paradigma ideal yang harus ada. Paradigma birokrasi yang ideal berkisar pada empat hal (Toenggul  P.  Siagian: 2000) yaitu :
1.      Paradigma di bidang kelembagaan
Birokrasi mampu menyelenggarakan fungsi dengan tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang semakin tinggi dengan berdasarkan prinsip-prinsip organisasi yang sehat. Paradigma manajemen sumber daya manusia. Paradigma manajemen sumber daya manusia dalam birokrasi bermuara dari semangat pengabdian. 
2.      Pengembangan citra Nilai nilai seperti loyalitas kejujuran, semangat pengabdian, disiplin kerja, mendahulukan kepentingan bangsa diatas kepentingan sendiri, tidak memperhitungkan untung rugi dalam pelaksanaan tugas, kesedian berkorban, dedikasi selalu ditekankan untuk dijunjung tinggi harus dikembangkan sebagai citra positif birokrasi.
3.      Pemerintahan yang dalam konteks birokrasi mengharapkan adanya organisasi birokrasi yang memiliki  keunggulan teknis bentuk organisasi, ketepatan, kecepatan dan kejelasan, pengurangan friksi dan biaya material maupun personal dalam titik optimal.
Menurut Linda D Ibrahim (2004) salah satu bentuk birokrasi yang ideal adalah birokrasi yang bertumpu pada komunitas.
Birokrasi memegang peran yang tidak kecil dalam perumusan, pelaksanaan, pengawasan, serta evaluasi kebijakan publik  Tjokrowinoto menyatakan ada paling tidak ada empat fungsi birokrasi (Feisal Tamin, 2002):
1.      Fungsi instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan publik dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan, komoditi, atau mewujudkan situasi tertentu
2.      Fungsi politik, yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi, dan profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan
3.      Fungsi Katalis Public Interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan publik dan mengintegrasikan ataumenginkorporasikannya di dalam kebijaksanaan dan keputusan pemerintah
4.      Fungsi Entrepreneurial, yaitu memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan non rutin, mengaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan menciptakan resource-mix yang optimal untuk mencapai tujuan.  
3.Pelayanan Publik Satu Atap
        Lingkup Pelayanan Publik dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai perwujudan kedaulatan rakyat pada dasarnya bertujuan meningkatkan harkat dan martabat bangsa,mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk memberikan kemakmuran sebesar-besarnyabagi rakyat, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Undang Undang Dasar 45 memberikan perintah, tugas dan wewenang kepada seluruh aparatur Negara melaksanakan amanat untuk mensejahterakan rakyatnya, melalui penyelenggaraan kepemerintahan yang baik dan bertanggung jawab, dan perwujudannya adalah pelayanan publik yang baik. Dengan demikian, amanat Undang-Undang Dasar 1945, menjadi penjuru atau pedoman bagi seluruh aparatur Negara/pemerintahan disemua susunan pemerintahan, sesuai dengan tugas dan fungsinya wajib menyelenggarakan; kepemerintahan yang baik, pembangunan dan pelayanan kepada warga dan rakyatnya, untuk tujuan kesejahteraan rakyatnya. Penyelenggara pelayanan publik, meliputi seluruh penyelenggara Negara danpemerintahan sesuai dengan fungsi dan bidang tugasnya, lembaga independen yang dibentukoleh pemerintah untuk menjalankan pelayanan publik, dan masyarakat atau lembaga prifatyang menyelenggarakan pelayanan (private goods), serta Badan Usaha/Badan Hukum yang bekerjasama dan/atau diberi tugas melaksanakan fungsi pelayanan publik.
Pelayanan Publik atau Pelayanan Umum menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan: “Sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintahan di Pusat dan Daerah, dan di lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk barang dan/atau jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Departemen Dalam Negeri (2004) menyebutkan bahwa; “Pelayanan Publik adalah Pelayanan Umum”, dan mendefinisikan “Pelayanan Umum adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaandan hubungan interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan. Setiap pelayanan menghasilkan produk, baik berupa barang dan jasa”.Dari beberapa pengertian pelayanan dan pelayanan publik yang diuraikan tersebut,dalam kontek pemerintah daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yangmempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yangditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan.
Dalam Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, pengertian ”pelayanan terpadu satu atap” adalah pola pelayanan yang diselenggarakan dalam satu tempat untuk berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu, sedangkan ”pelayanan satu pintu” adalah pola pelayanan yang diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu
4. Pelayanan Prima
Pelayanan pada dasarnya adalah kegiatan yang ditawarkan oleh organisasi atau perorangankepada konsumen (yang dilayani), yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki.Sedangkan Pelayanan Prima merupakan terjemahan dari istilah Service Excellent´ yang secara harafiah berarti pelayanan yang sangat baik atau pelayanan yang terbaik, karena sesuai denganstandard pelayanan yang berlaku atau dimiliki oleh instansi yang memberikan pelayanan.Apabila instansi belum memiliki standard perlayanan maka pelayanan disebut sangat baik atauterbaik atau akan menjadi prima, manakala dapat atau mampu memuaskan pihak yang dilayani(pelanggan). Jadi pelayanan prima dalam hal ini sesuai dengan harapan pelanggan.
Penerapan konsep pelayanan prima di lingkungan aparatur pemerintahan tertulis dalamkeputusan Menpan nomor 81 / 1995, yang juga dipertegas dalam instruksi Presiden nomor I /1995 tentang peningkatan kualitas aparatur pemerintahan kepada masyarakat.
Penetapan kompetensi pelayanan prima dalam keputusan menpan dan dalam instruksi Presidennomor 1/1995 tentang Peningkatan Kualitas Aparatur Pemerintah Kepada masyarakat tersebutmenunjukkan bahwa pemerintah sangat memperhatikan untuk meningkatkan kualitas layananmasyarakat melalui penerapan Pelayanan Prima.
Dalam memberikan pelayanan yang  prima sebagai usaha untuk mencapai kepuasan dan loyalitas pelanggan, pihak produsen jasa dapat berpedoman pada variable pelayanan prima (service Exellent). Menurut Brata (2004:31) pelayanan prima (service Exellent) terdiri dari 6 unsur yaitu:
1.      Kemampuan (Ability)
2.      Sikap (Attitude)
3.      Penampilan (Appereance)
4.      Perhatian (Attention)
5.      Tindakan (Action)
6.      Tanggung jawab (Accontability)

Sedangkan menurut Tjiptono (2002:58) pelayanan prima (service Exellent) terdiri dari 4 unsur pokok yaitu:
1.      Kecepatan,
2.      Ketepatan
3.      Keramahan
4.      kenyamanan
5. Reformasi Birokrasi
Kata reformasi sangat popular sejak lebih dari satu dekade terakhir. Sebab, itu ditawarkan sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit di berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara selama tiga dekade sebelumnya. Puncaknya krisis multidimensi pada 1998, yang dijadikan sebagai momentum dimulainya era reformasi, dengan dicanangkannya reformasi dalam berbagai bidang seperti politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur. Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperharui. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi di sini merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner.
Reformasi birokrasi bertujuan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga bisa memberikan kesejahteraan dan rasa keadilan pada masyarakat banyak. Di sisi lain birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas dan fungsi, karena tidak saja hanya terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan. Proses reformasi yang harus dilakukan birokrasi nampaknya bukan hal yang mudah karena harus memformat ulang dengan penuh kritik dan tindakan korektif struktur dan konfigurasi birokrasi itu dari yang serba sakral feodal ke serba rasional dan profesional. Proses reformasi dari berfikir nuansa serba priyayi (ambtenaar) ke arah birokrasi dengan konfigurasi otoritas yang rasional, yang dalam tataran empirik dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani sebagai abdi masyarakat (public service). Menurut konsep birokrasi Weberian bahwa kekuasaan ada pada setiap hirarki jabatan.
Semakin tinggi hirarki tersebut semakin tinggi kekuasaannya. Demikian sebaliknya semakin rendah hirarkinya akan semakin rendah pula kekuasaannya. Rakyat adalah paling rendah hirarkinya sehingga ia tidak mempunyai kekuasaan apapun. Disiplin birokrasi model Weber menyatakan bahwa hirarki bawah tidak boleh berani atau tidak boleh melawan kekuasaan hirarki atas (dalam Thoha, 1999). Tugas utama pemerintah terhadap rakyatnya adalah memberikan pelayanan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat. Demikan pentingnya pelayanan publik oleh pemerintah ini sehingga sering dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu rezim pemerintah, terlebih sekarang ketika paradigma Good Governance (kepemerintahan yang baik) dikedepankan dimana akuntabilitas, efektivitas dan efesiensi dijadikan tolok ukur dalam pelayanan sektor publik.
Dalam konteks kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia, pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Nomor 81 lahun 1995 telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan kepada birokrasi publik secara baik. Berbagai prinsip pelayanan, seperti kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonoinis, dan keadilan yang merata merupakan prinsip-prinsip pelayanan yang harus diakomodasi dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia. Prinsip kesederhanaan, misalnya, mempunyai maksud banwa prosedur atau tata cara pemberian pelayanan publik harus didesain sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat menjadi mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan. Perkembangan lingkungan global juga telah memberikan andil yang besar kepada birokrasi untuk semakin meningkatkan daya saing dalam kerangka pasar bebas dan tuntutan globatisasi. Birokrasi publik dituntut harus mampu memberikan pelayanan yang sebaik mungkin, baik kepada publik maupun kepada investor dari negara lain. Salah satu strategi untuk merespons perkembangan global tersebut adalah dengan meningkatkan kapasitas birokrasi dalam pemberian pelayanan, publik. Penerapan strategi yang mengintegrasikan pendekatan kultural dan struktural ke dalam sistem pelayanan birokrasi, yang disebut dengan Total Quality Management (TQM), dapat dilakukan untuk semakin meningkatkan produktivitas dan perbaikan pelayanan birokrasi.
5.      Efektivitas
Efektivitas kerja pegawai yaitu suatu keadaan tercapainya tujuan yang diharapkan atau dikehendaki melalui penyelesaian pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Atmosoeprapto (2002:139) menyatakan Efektivitas adalah melakukan hal yang benar, sedangkan efisiensi adalah melakukan hal secara benar, atau efektivitas adalah sejauh mana kita mencapai sasaran dan efisiensi adalah bagaimana kita mencampur segala sumber daya secara cermat. Sondang P. Siagian (2001 : 24) memberikan definisi sebagai berikut : “Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya.Sementara itu Abdurahmat (2003:92) “Efektivitas adalah pemanpaatan sumber daya, sarana dan prasaranadalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Dari pengertian-pengertian efektifitas tersebut dapat disimpulkan bahwa efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Efektivitas umumnya dipandang sebagai tingkat pencapaian tujuan operatif dan operasional. Dengan demikian pada dasarnya efektivitas adalah tingkat pencapaian tujuan atau sasaran organisasional sesuai yang ditetapkan. Efektivitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana seseorang menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut Emerson yang dikutip oleh Soewarno (1996:16) bahwa “efektivitas pelayanan publik merupakan pengukuran dalam arti tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditemukan sebelumnya”. Sedangkan Sondang P. Siagian (1997:151), “Efektivitas pelayanan publik berarti penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditentukan, artinya pelaksanaan sesuatu tugas dinilai baik atau tidak sangat tergantung pada penyelesaian tugas tersebut dengan waktu yang telah ditetapkan”. Efektivitas kerja organisasi sangat tergantung dari efektivitas kerja dari orang-orang yang bekerja di dalamnya. Sangat sulit untuk mengukur efektivitas kerja, karena penilaiannya sangat subjektif dan sangat tergantung pada orang yang menerima pelayanan tersebut. Kesukarannya terletak pada penarikan generaliasi yang akhirnya berlaku umum dan dapat diterima oleh setiap orang. Artinya, meskipun individual sifatnya, ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas kerja dari organisasi yang memberikan pelayanan (Sondang P. Siagian, 1996:60) antara lain : 
1. Faktor waktu 
Faktor waktu di sini maksudnya adalah ketepatan waktu dan kecepatan waktu dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan. Hanya saja penggunaan ukuran tentang tepat tidaknya atau cepat tidaknya pelayanan yang diberikan berbeda dari satu orang ke orang lain. Terlepas dari penilaian subjektif yang demikian, yang jelas ialah faktor waktu dapat dijadikan sebagai salah satu ukuran efektivitas kerja. 
2. Faktor kecermatan 
Faktor kecermatan dapat dijadikan ukuran untuk menilai tingkat efektivitas kerja organisasi yang memberikan pelayanan. Faktor kecermatan disini adalah faktor ketelitian dari pemberi pelayanan kepada pelanggan. Pelanggan akan cenderung memberikan nilai yang tidak terlalu tinggi kepada pemberi pelayan, apabila terjadi banyak kesalahan dalam proses pelayanan, meskipun diberikan dalam waktu yang singkat.
3.Faktor gaya pemberian pelayanan 
Gaya pemberian pelayanan merupakan salah satu ukuran lain yang dapat dan biasanya digunakan dalam mengukur efektivitas kerja. Yang dimaksud dengan gaya disini adalah cara dan kebiasaan pemberi pelayanan dalam memberikan jasa kepada pelanggan. Bisa saja si pelanggan merasa tidak sesuai dengan gaya pelanggan yang diberikan oleh pemberi pelayanan. Jika berbicara tetang sesuatu hal yang menyangkut kesesuaian, sesungguhnya apa yang dibicarakan termasuk hal yang tidak terlepas kaitannya dengan nilai-nilai sosial yang dianut oleh orang yang bersangkutan. 

B.  Kerangka Pemikiran
Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.
Yang dimaksud dengan Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik (Pasal 1 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009). Beberapa istilah Pelayanan oleh lembaga-lembaga pemerintah kepada masyarakat disebut dengan berbagai istilah, seperti pelayanan masyarakat, pelayanan umum, pelayanan prima atau pelayanan publik. Hakikat dari pelayanan publik adalah pemberian pemenuhan pelayanan kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban pemerintah sebagai abdi masyarakat. Pelayanan adalah keutamaan dari sebuah organisasi, mengembangkan gugus kendali mutu pelayanan, akan mendapatkan pelayanan yang berkualitas. Pelayanan yang berkualitas akan menimbulkan kepuasan dari masyarakat bahkan dari pegawai, satuan kerjanya sendiri. Kepuasan masyarakat dengan meningkatkan kualitas produk barang/jasa yang dihasilkan harus menjadi upaya bersama yang utama.
 Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
       Keberhasilan pemerintahan di suatu daerah dapat dilihat dari  penyelenggaraan pelayanan publiknya. Kualitas pelayanan publik yang baik tentu di ikuti pula oleh rasa kepuasan masyarakat atas jasa pelayanan(service)  publik yang di berikan oleh pemerintah  jadi ketika suatu daerah dapat memberikan pelayanan yang baik tentu ini menjadi salah satu parameter untuk mengukur kemajuan daerah tersebut.
Gambar 1.1
Kerangka pemikiran
Pemerintah daerah

Birokrasi
 

Reformasi Birokrasi
                                                 
Pelayanan Publik Satu Atap

Pelayanan Prima

Kepuasan Masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik
 







Keterangan :
                                    : hubungan kerja
                                    : hasil

C.      Perumusan Hipotesis
Hipotesis adalah suatu ide untuk menyelesaikan suatu masalah Hipotesis merupakan salah satu bentuk konkrit dari perumusan masalah. Dengan adanya hipotesis, pelaksanaan penelitian diarahkan untuk membenarkan atau menolak hipotesis. Pada umumnya hipotesis dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang menguraikan hubungan sebab-akibat antara variabel bebas dan tak bebas gejala yang diteliti. Hipotesis mempunyai peranan memberikan arah dan tujuan pelaksanaan penelitian, dan memandu ke arah penyelesaiannya secara lebih efisien. Hipotesis yang baik akan menghindarkan penelitian tanpa tujuan, dan pengumpulan data yang tidak relevan.
Menurut Husein Umar (2004:46) “hipotesis berfungsi sebagai pegangan sementara atau jawaban sementara. Hipotesis menghendaki pembuktian, baik dalam kenyataan (empirical verification), percobaan (experimentation) maupun praktek (implementation). Oleh Conny R. Semiswan (2007 : 9) “pernyataan masalah (problem statement) harus dikembangkan menjadi prediksi yang spesifik yang teruji.
Adapun hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: Penyelenggaraan  pelayanan publik satu atap yang efektif berpengaruh positif terhadap tingkat kepuasan masyarakat.
BAB III
METODE PENELITIAN

Sebelum lebih lanjut menguraikan tentang metode penelitian , maka terlebih dahulu perlu kiranya diketahui tentang pengertian metode penelitian atau secara ilmiah dapat disebut Methodologi Research. Secara umum dapat dikatakan bahwa Methodologi Research adalah ilmu tentang cara-cara untuk mengadakan penelitian. Pendekatan rasional memberikan kerangka berpikir yang koheren dan logis. Sedangkan pendekan empiris memberikan kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran.
Menurut Sugiyono (2009:297) menyatakan : “metode penelitian dan pengembangan atau dalam bahasa inggrisnya Research and development adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan tersebut”.

A.      Desain Penelitian
Dalam penelitian ini, masalah penelitian yang penulis rumuskan adalah: bagaimanakah tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik satu atap di dinas kependudukan dan catatan sipil di kota denpasar ?, sedangkan hipotesis kerjanya adalah jika terjadi efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik satu atap oleh dinas kependudukan dan catatan sipil kota denpasar , maka terciptalah pelayanan prima yang akan menimbulkan rasa kepuasan oleh masyarakat kota denpasar.
Dari rumusan tersebut maka penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian yang bermaksud menguji hipotesis, dengan variabel-variabel yaitu efektivitas penyelengagaran pelayanan publik satu atap sebagai variabel independen atau variabel pengaruh (X) dan tingkat kepuasan masyarakat sebagai variabel dependen atau variabel terpengaruh (Y), maka untuk mengetahui hubungan atau korelasi antara variabel-variabel tersebut, penulis melakukan penelitian lapangan (field study).
Kota Denpasar  adalah wilayah yang menjadi unit analisis penelitian ini, dengan elemen-elemen unit analisisnya adalah masyarakat denpasar dan pegawai di dinas kependudukan dan catatan sipil kota denpasar pertimbangan ini dilakukan karena dalam kenyataannya, terkait dengan penyelenggaraan pelayanan public dan masyarakatlah yang menjadi pusat orientasinya.
Adapun sumber data yang nantinya digunakan dalam menunjang pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut :
1.    Library Research (Penelitian Kepustakaan)
Yaitu data yang didapat melalui kajian kepustakaan buku-buku yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Data ini disebut data sekunder.
2.      Field research (Penelitian di Lapangan)
Yaitu dengan melakukan penelitian secara langsung dilapangan khususnya pada perilaku sosial dan interaksi sosial yang berkaitan dengan objek penelitian di Dinas kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar.
            Data yang dibutuhkan dalam menunjang penulisan antara lain :
1.      Data Primer                                                                                        
            Adalah data utama yang diperoleh secara langsung melalui responden dilapangan atau lokasi penelitian dimana data ini berkaitan dengan penelitian yakni yang dapat dilakukan dengan teknik kuesioner dan wawancara
2.      Data Sekunder
            Adalah data yang dikumpulkan dari pihak lain. Data sekunder ini diambil dari dokumentasi atau keterangan-keterangan lain seperti gambaran umum lokasi penelitian, struktur organisasi, serta hal lain yang mampu memberikan  nilai informasi lebih dalam penelitian tersebut. 

B.  Operasional Variabble penelitian
Operasional variabel penelitian dimaksudkan untuk memudahkan pengukuran masing-masing variabel penelitian melalui unsur-unsur atau indikator yang telah disusun. Menurut Sugiono (2002 : 2) “Variabel merupakan gejala yang menjadi focus peneliti untuk diamati”. Menurut Husein Umar (2004 : 53) variabel independen (bebas) adalah variabel yang menjelaskan atau mempengaruhi variabel lainnya sedangkan variabel dependen (tergantung) adalah variabel yang dijelaskan atau yang dipengaruhi oleh variabel independen.
Kegiatan operasional dalam penelitian ini meliputi perincian konsep atau variabel menjadi sejumlah indikator. Indikator inilah yang akan dijadikan landasan melakukan pengukuran terhadap masing-masing  variabel.
 Adapun variabel dalam penelitian ini yakni:
1. Variabel independen (bebas atau pengaruh) yakni pengaruh fungsi Badan Permusyawaratan Desa. Badan Permusyawaratan Desa adalah suatu badan yang dianggap mewakili masyarakat desa dan merupakan perwujudan dari demokrasi dalam pemerintahan desa. Variabel ini diukur dengan indikator:
a. Proses pembuatan peraturan desa.
b. Pengawasan BPD dalam kegiatan pemerintahan desa.
c. Kegiatan menjaring aspirasi masyarakat
2. Variabel dependen (terikat atau terpengaruh) yakni efektivitas penyelenggaraan pemerintahan desa. Pemerintahan desa adalah suatu perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ pemerintahan desa baik itu eksekutif (kepala desa beserta perangkat desa) dan juga legislatif (BPD) dalam rangka mencapai tujuan desa. Varibel ini diukur dengan indikator:
a. Pelaksanaan pembangunan.
b. Penyelenggaraan tugas-tugas administratif.
c. Pengaturan hubungan antar lembaga, baik yang bersifat internal maupun   eksternal dalam hubungannya secara vertikal maupun horizontal.    

C.    Populasi dan Sampel
1.    Populasi
Menurut Bryman (2001) “Populasi adalah keseluruhan unit dari mana sampel itu dipilih. Istilah unit pada hal ini, bahwa yang disebut sampel yang mewakili seluruh populasi tidak selalu menunjuk pada orang, melainkan bisa menunjuk pada sekolah, kota, bangsa bahkan juga bisa teori tertentu atau kemauan tertentu”. Menurut Sugiono (2002 : 55)  “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas ; obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya” .
Berdasarkan pendapat diatas disimpulkan bahwa populasi adalah jumlah keseluruhan objek penelitian atau unit analisa yang digeneralisasi terhadap daerah penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terkait dengan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa yakni 19 orang aparatur pemerintah desa dan 11 orang anggota BPD. 
2.    Sampel
 Sampel merupakan bagian yang dianggap mewakili, sedangkan yang yang dimaksud mewakili bukanlah merupakan duplikat atau replika yang cermat, melainkan hanya sebagai cermin yang dapat dipandang menggambarkan secara maksimal keadaan populasi. Menurut Sugiono (2002 :56) “Sample adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Sampel dalam penelitian ini harus benar-benar mewakili populasi karena hasil yang akan dicapai akan diberlakukan sama pada keselurahan populasi atas pengambilan data dari populasi tersebut. Adanya keuntungan menggunakan metode sampling dalam penelitian ini adalah karena subyek pada sampel lebih bisa dijangkau dari anggota keseluruhan dalam populasi. Dalam hal ini sampel yang akan diambil adalah Pemerintah Desa (Kepala Desa, Sekertaris Desa dan Kepala Urusan) dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Seraya, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, sehingga tidak terlalu banyak menghabiskan waktu, tenaga dan biaya dalam mengumpulkan data.
Dalam penelitian kualitatif, jumlah sampel tidak dapat ditentukan berdasarkan jumlah populasinya tetapi ditentukan berdasarkan kebutuhan data, jika data yang diperlukan sudah mencukupi maka pengumpulan data dapat dihentikan. Adapun banyaknya sampel yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah 30 orang yang merupakan orang-orang yang kompeten dibidangnya masing-masing dan merupakan perwakilan dari populasi di Kota Denpasar karena sampel tersebut sudah merupakan unsur-unsur dari Dinas catatn sipil dan masyarakat. Dalam upaya mengumpulkan data atau informasi yang dibutuhkan dalam penelitian, penulis memerlukan alat bantu berupa pedoman wawancara dalam bentuk daftar pertanyaan yang disusun/terstruktur yang akan ditanyakan kepada informan.

D.    Metode Pengumpulan Data
Adapun jenis data yang berdasarkan sumber data adalah:
1.      Sumber data primer yang merupakan sumber data langsung yang diperoleh dengan menemukan data di lapangan tanpa perantara lain, misalnya perolehan data dengan wawancara dari Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan sipil Kota Denpasar
2.    Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari pengolahan data primer dan disajikan oleh pihak pengumpul data primer atau pihak lain yang biasanya dalam bentuk tabel, diagram serta dokumen lain yang terkait erat dengan permasalah yang dibahas.
Adapun jenis metode atau instrumen dari pengumpulan data yang dipakai adalah:
1.  Observasi
Pengertian observasi sebagai pengamatan adalah kegiatan yang meliputi pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera. Observasi dapat dilakukan dengan indera penglihatan, indera pendengaran, indera peraba, dan indera pengecap. Observasi dapat dilakukan dalam wujud kuisioner, rekaman gambar, tes, ataupun yang lainnya. Observasi dapat dilakukan dengan dua cara, yang kemudian digunakan untuk menyebutkan jenis observasi yaitu: observasi non-sistematis, dilakukan oleh peneliti dengan instrumen pengamatan dan pengelihatan yang dilakukan dengan tanpa adanya pedoman. Observasi sistematis dilakukan peneliti dengan menggunakan acuan dan pedoman sebagai instrumen pengamatan yang dilaksanakan dengan sistematis.
Pedoman observasi berisi sebuah daftar jenis kegiatan yang akan diobservasi, dalam hal ini adalah berupa kondisi perekonomian serta kehidupan masyarakat  khususnya yang dipengaruhi oleh bidang sosial politik, serta dengan mengamati keadaan topografi kota denpasar, melihat data mengenai struktur dan jumlah penduduk, mata pencaharian penduduk, serta melihat tempat atau kantor Dinas catatan sipil yang berada Kota Denpasar.
2.  Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara melakukan pencatatan secara sistematis berbagai bentuk laporan, pemberitaan, peraturan-peraturan ataupun informasi-informasiyang terkait dengan objek penelitian. Dokumentasi adalah metode yang dilakukan dengan cara mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, rapat, agenda dan lain sebagainya. Dokumentasi digunakan untuk menunjang data-data hasil wawancara maupun observasi. Alasan penggunaan dokumentasi karena kegiatan BPD dalam melakukan peran/fungsinya tidak lepas dari adanya dokumen sehingga dalam hal ini dapat melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini menggunakan metode dokumen guna melengkapi data yang sebelumnya agar mendapatkan sebuah data yang lengkap dan objektif.
3.  Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tetentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2004 : 186).
Wawancara merupakan percakapan yang dilakukan oleh peneliti kepada narasumber untuk memperoleh informasi maupun data yang diperlukan untuk menunjang penelitian yang dilakukan. Langkah seperti ini dipergunakan pewawancara yang melakukan penelitian untuk meneliti situasi atau keadaan seseorang ataupun sekelompok orang untuk mencari data tentang variabel-variabel penelitian. Secara umum jenis wawancara dapat dibedakan menjadi dua yaitu wawancara yang terstruktur dan wawancara tidak terstruktur.
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur. Karena disini pewawancara yang menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan disusun terlebih dahulu sebelum diajukan. Pertanyaan yang disusun didasarkan atas masalah dalam rancangan penelitian. Berarti disini data yang diungkap adalah mengenai efektivitas penyelenggaraan pelayanan publik satu atap yang dimulai dari frekuensi kehadiran sampai pelaksanaan penyelenggaran tersebut. Data yang diungkap ini adalah hasil dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam wawancara yang ada didalam format wawancara. Wawancara ini ditujukan kepada dua (2) komponen masyarakat yaitu :
a. Komponen Dinas Kependudukan dan Catatn sipil.
b.  Masyarakat yang melakukan pengurusan administrasi/pelayanan  publik.
Pertanyaan dalam wawancara hanya pada bagaimana efektivitas penyelenggaran pelayanan publik satu atap di kota denpasar.
Sebelum mengadakan wawancara seorang peneliti perlu mempersiapkan beberapa persoalan, antara lain:
a.       Pertama, seleksi individual untuk diwawancarai. Dalam hal ini dilakukan pemilihan terhadap responden dan informan yang dianggap mampu memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan mengenai peran orang yang akan diwawancarai dimaksudkan agar tidak terjadi informasi yang tidak sesuai dengan apa yang akan diteliti.
b.      Kedua, pendekatan orang yang telah diseleksi untuk diwawancarai. Penelitian ini dilakukan dengan mengunjungi Kepala Dinas Catatn sipil dan staff/pegawai yang lainnya. Hal ini diharapkan agar dapat memberikan kemudahan bagi peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan.
c.       Ketiga, pengembangan suasana lancar dalam wawancara serta usaha-usaha untuk menimbulkan pengertian dengan bantuan sepenuhnya dari orang yang akan diwawancarai. Bersikap sopan dan ramah dalam berkomunikasi merupakan modal dasar supaya wawancara yang dilakukan dapat berjalan lancar dan dapat diperoleh data-data yang diperlukan oleh peneliti.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum wawancara adalah:
a.       Pertama, menunjuk kunci informasi yang benar-benar dapat memberikan informasi tentang fokus yang akan diteliti atau dikaji, yaitu terdiri Kepala Dinas Catatan Sipil, Pegawai/staff Desa serta beberapa masyarakat.
b.      Kedua, membuat janji dengan responden dan informan. Sebelum wawancara dimulai peneliti mendatangi responden dan informan dan membuat janji kapan responden dan informan dapat diwawancarai. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah paham mengenai waktu pelaksanaan wawancara.
c.       Ketiga, menyiapkan pertanyaan-pertanyaan dan menyiapkan pelengkapan wawancara seperti tape recorder, catatan, alat tulis, dan kamera. Perlengkapan tersebut sangat dibutuhkan karena bisa dijadikan sebagai data tambahan apabila data yang diperoleh dari hasil wawancara kurang memuaskan.
Dalam wawancara ini terjadi percakapan antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai dalam suasana santai, kurang formal dan tidak disediakan jawaban oleh pewawancara. Wawancara ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang sifatnya mendalam terhadap masing-masing yang ditunjukan.
4.   Metode kepustakaan
Dalam metode ini peneliti mengambil teori-teori yang terkait dengan permasalahan yang peneliti teliti sehingga dengan cara tersebut peneliti dapat membandingkan kenyataan yang terjadi di lapangan dengan teori yang memberikan patokan atas kejadian yang seharusnya terjadi dalam kenyataan. Peneliti memakai literatur dari buku-buku terkait dan mengambil beberapa pendapat para ahli yang menyangkut permasalahan yang sedang diteliti.


E.  Teknik Analisis Data
Menurut Moleong (2004:173) : “untuk menetapkan keabsolutan (trustworthines) data atau yang sering disebut analisis data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu”. Ada empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat kepercayaan (kredibility), keterahlian (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).
Dalam penelitian ini teknik pemeriksaan data dengan menggunakan teknik triangulasi dengan memanfaatkan penggunaan sumber. Menurut Patton (dalam Moleong, 2004:178) “triangulasi degan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda”. Dalam hal ini data yang diperoleh melalui wawancara dengan Perangkat Desa akan dicek kembali dengan data hasil wawancara dengan sebagian anggota Badan Permusyawaratan Desa, jika data-data tersebut sesuai maka analisis data dapat dipercaya.
Dalam menganalisis data, kami menggunakan metode analisis data deskriptif kualitatif yaitu suatu analisis data yang berpola menggambarkan apa yang ada di lapangan dan mengupayakan penggambaran data. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penggunaan metode analisis deskriptif yang kami gunakan yaitu mengupayakan suatu penelitian dengan cara menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta dari suatu peristiwa serta sifat-sifat tertentu.
Dengan kata lain, penelitian deskriptif berupaya mengalihkan suatu kesan terhadap sesuatu melalui panca indera dengan menuangkan dalam bentuk tulisan, baik kondisi awal, saat proses sampai akhir, dari sesuatu permasalahan yang diamati. Dalam tahap analisis data yang dilakukan oleh peneliti di lapangan dapat di gambarkan sebagai berikut:
1.      Pengumpulan Data, yaitu dilakukan dengan mengadakan wawancara, observasi dan dokumentasi.
2.      Reduksi Data
                         a.      Data yang terkumpul dipilih dan dikelompokan berdasarkan data yang mirip sama.
                        b.      Data kemudian diorganisasikan untuk mendapat simpulan data sebagai bahan penyajian data.
3.      Penyajian Data, setelah data diorganisasikan kemudian data disajikan dalam uraian-uraian naratif yang disertai dengan bagan atau table untuk memperjelas data.
4.      Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi, setelah data disajikan maka dilakukan penarikan kesimpulan atau verifikasi serta intervikasi dari ketiga komponen tersebut di atas.

F.  Rancangan Uji Hipotesis
Penelitian yang dilakukan menggunakan analisis data deskriptif kualitatif. Analisis data deskriptif kualitatif dilakukan dengan cara menguraikan dan menjelaskan sifat atau karakteristik data yang sebenarnya serta mampu melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi sifat-sifat data yang diperoleh. Data yang dideskripsikan adalah data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data dengna menggunakan metode observasi, wawancara, dokumentasi, kepustakaan dan kuesioner kemudian di transkripsikan dalam bentuk paparan. Pendeskripsiannya bersifat interprestasi dengan bantuan teori-teori dan kerangka pikir yang berlaku secara umum.
Untuk mengambil kesimpulan yang tepat serta objektif dalam penelitian, maka dalam penelitian ini dipergunakan 2 metode yaitu :
1.   Metode Deduktif adalah suatu cara atau metode yang digunakan untuk mengambil kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menjurus kepada hal-hal yang bersifat khusus.
2.   Metode Induktif adalah suatu cara yang digunakan untuk mengambil kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus kemudian menjurus kepada hal-hal yang bersifat umum.
Dari uraian di atas, maka penulisan skripsi ini akan memadukan kedua metode diatas yaitu metode deduktif dengan metode induktif sehingga kedua metode tersebut saling melengkapi satu sama lain.

G.    Lokasi dan Jadwal Penelitian
  1. Lokasi Penelitian.
Lokasi dari penelitian yang akan dilaksanakan yaitu di Dinas kependudukan dan Catatan sipil kota Denpasar. Dengan mempelajari situasi dan kondisi yang ada baik itu kondisi sosial masyarakat, maupun kondisi politik yang menyangkut perkembangan masyarakat baik yang bersifat fisik maupun non-fisik dan yang menyangkut hal-hal peaksanaan Pemerintahan Desa dan secara spesifik peneliti akan mengambil data-data yang nantinya berkaitan dengan permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini.
  1. Jadwal Penelitian.
Jadwal penelitian ini adalah selama duaa (2) bulan yang dimulai bulan Juli 2011 sampai bulan Agustus 2011.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu  Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Muluk, Khairul, 2004. Paradigma Baru Administrasi Publik : Dari “Public Management”
Pasolong, Harbani, 2007. Teori Administrasi Publik, Penerbit Alfabeta, Bandung.
P. Siagian. Sondang. 2002. Administrasi Pembangunan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sunarno, 2008. Reformasi Birokrasi, 5 Maret 2008. dari http://www.google.co.id.
Soekanto, Soerjano. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Umar, Husein. 2004. Metode Riset Ilmu Administrasi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Dari http://www.google.co.id

3 komentar:

  1. kalo teori efektivitas dari atmosoeprapto sama abdurachmat itu daftar pustakanya apa ya.. tolong kasih tau yaa.. makasih

    BalasHapus
  2. beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas kerja dari organisasi yang memberikan pelayanan (Sondang P. Siagian, 1996:60) antara lain :
    1. Faktor waktu
    Faktor waktu di sini maksudnya adalah ketepatan waktu dan kecepatan waktu dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan. Hanya saja penggunaan ukuran tentang tepat tidaknya atau cepat tidaknya pelayanan yang diberikan berbeda dari satu orang ke orang lain. Terlepas dari penilaian subjektif yang demikian, yang jelas ialah faktor waktu dapat dijadikan sebagai salah satu ukuran efektivitas kerja.
    2. Faktor kecermatan
    Faktor kecermatan dapat dijadikan ukuran untuk menilai tingkat efektivitas kerja organisasi yang memberikan pelayanan. Faktor kecermatan disini adalah faktor ketelitian dari pemberi pelayanan kepada pelanggan. Pelanggan akan cenderung memberikan nilai yang tidak terlalu tinggi kepada pemberi pelayan, apabila terjadi banyak kesalahan dalam proses pelayanan, meskipun diberikan dalam waktu yang singkat.
    3.Faktor gaya pemberian pelayanan
    Gaya pemberian pelayanan merupakan salah satu ukuran lain yang dapat dan biasanya digunakan dalam mengukur efektivitas kerja. Yang dimaksud dengan gaya disini adalah cara dan kebiasaan pemberi pelayanan dalam memberikan jasa kepada pelanggan. Bisa saja si pelanggan merasa tidak sesuai dengan gaya pelanggan yang diberikan oleh pemberi pelayanan. Jika berbicara tetang sesuatu hal yang menyangkut kesesuaian, sesungguhnya apa yang dibicarakan termasuk hal yang tidak terlepas kaitannya dengan nilai-nilai sosial yang dianut oleh orang yang bersangkutan.

    mas teori ini ngambil dari buku apa yah? mohon jawabannya ya mas

    BalasHapus