Minggu, 07 Agustus 2011

akibat kurangnya perhatian pemerintah serta kesenjangan pembagunan pusat dan daerah.

Sejak pagi hari, ribuan orang Papua asli terus mengalir mendatangi Lapangan Timika Indah. Hari itu, Selasa, 2 Agustus 2011. 

Di belahan bumi lain, tepatnya di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford, Inggris, pada hari yang sama tengah digelar konferensi internasional yang mengupayakan kemerdekaan Papua.

Konferensi itu diprakarsai International Lawyers for West Papua (ILWP). ILWP diluncurkan di House of Commons, London, tepatnya pada15 Oktober 2008.

Konferensi ILWP bertujuan untuk mendukung penentuan nasib sendiri bagi warga asli Papua. Pada tahun ketiga ini, konferensi mengangkat tema tentang kemerdekaan Papua Barat dengan judul "West Papua? The Road to Freedom". 


Berdasarkan informasi dari laman situs ILWP, pembicara dalam konferensi itu yaitu Benny Wenda, yang disebut sebagai pemimpin kemerdekaan masyarakat Papua Barat , ahli Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 John Saltford, dan saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery. 

Konferensi itu melakukan pengkajian hukum terhadap Pepera 1969 yang dianggap cacat oleh kelompok prokemerdekaan Papua.

Nah ribuan orang berduyun-duyun ke Lapangan Timika Indah 2 Agustus 2011 itu untuk mendukung konferensi ILWP tersebut. 

Yel-yel Papua merdeka berkali-kali bergema dalam aksi di lapangan itu. Tarian Waita sesekali meramaikan aksi. Tapi tentu saja orasi politik menjadi menu utama. Inti orasi, masyarakat asli Papua menuntut referendrum bagi Papua Barat. 

"Ini untuk menunjukkan pada dunia maupun Indonesia , kami ingin menentukan nasib sendiri, melalui mekanisme hukum yang sah dan legal, yakni referendum," kata Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Maco Tabuni. KNPB merupakan organisasi yang menggelar demontrasi itu.

Selain di Timika, aksi serupa juga digelar di sejumlah kota lainnya, seperti Jayapura, Nabire, dan Abepura. Aksi juga digelar di depan Istana Negara, Jakarta.

Aksi ribuan masyarakat asli Papua itu berlangsung damai. Padahal malam sebelumnya sempat beredar pesan singkat (SMS) yang isinya akan terjadi pembantaian dan lain sebagainya, yang mengarah pada tindakan anarkis. Dua hari sebelum aksi itu pun, terjadi bentrokan antar pendukung calon bupati di kabupaten Puncak yang menewaskan 19 orang. Juga terjadi serangan terhadap angkutan umum yang menyebabkan 7 korban termasuk dari TNI. 

Tiga hari setelah demo besar-besaran itu, tuntutan Papua Merdeka terus bergema. Pada 5 Agustus 2011, Organisasi Papua Merdeka (OPM) bahkan menuntut referendum dengan cara membakar bendera Merah Putih di Markas Tentara Pembebasan (TPM)-OPM di Tinggi, Nambut, Pucak Jaya. 

Tuntutan Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia sejatinya memang sudah bergaung lama. George Junus Aditjondro mencatat gerakan memerdekakan diri Papua dilakukan OPM sejak didirikan pada 26 Juli 1965 di Manokwari. 

Lantas pada tanggal 1 Juli 1971, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM yang lain, Seth Jafeth Rumkorem dan Jacob Hendrik Prai memproklamasikan berdirinya Republik Papua Barat. Saat itu juga bendera Bintang Kejora dikibarkan di tanah Papua.

Namun republik itu kemudian ditumpas oleh militer Indonesia di bawah perintah Presiden Soeharto. Meski demikian gerakan separatis ini tidak lantas mati. Hampir setiap presiden Indonesia harus berhadapan dengan tuntutan pemisahan diri Papua.

Pada masa awal pemeirntahan Gus Dur misalnya, tepatnya 12 November 1999, Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay mendeklarasi Papua Merdeka di kediamannya. Pada Desember di tahun yang sama, Theys menjadi inspektur upacara pengibaran bendera Bintang Kejora di halaman Gedung Dewan Kesenian Irianjaya.

Presiden Gus Dur sempat menyelesaikan gerakan separatis ini lewat pemberian otonomi khusus pada 1 Januari 2001. Selain otonomi khusus, Gus Dur juga mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua.

Namun 10 tahun otonomi khusus berlalu, keinginan untuk merdeka Papua tidak kunjung padam. Akhir-akhir ini malah gerakan menuntut kemerdekaan ini semakin masif.

Gerakan prokemerdekaan di Papua kini telah bertransformasi menjadi gerakan baru dengan menggunakan cara-cara modern. Gerakan ini mulai menghindari cara kekerasan, tapi menggunakan cara politik dan diplomasi. 

Aktivis prokemerdekaan Papua sudah meniru gaya Timor Leste dengan aktif menjalin jaringan dengan luar negeri. Hasilnya di Inggris terbentuk ILWP dan International Parliamentarians of West Papua (IPWP). Di Amerika Serikat ada West Papua Network dan di Australia ada yang namanya West Papua Freedom Association, dan sebagainya.

Tidak cuma itu, tuntutan kemerdekaan Papua juga disuarakan lewat media sosial yang sudah terbukti berhasil menumbangkan rezim di sejumlah negara seperti Mesir dan Tunisia.

Di Facebook misalnya, ada gerakan "100 Juta Suara Dukung Referendum West Papua". Saat ini pendukung ajakan itu jumlahnya mencapai ratusan orang. Di Youtube banyak postingan film yang menuntut kemerdekaan Papua.

Mantan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, pada 2008, telah mengingatkan potensi Papua lepas dari NKRI sangat besar. Papua telah memiliki beberapa persyaratan untuk menjadi sebuah negara. 

Sebuah wilayah yang ingin menjadi negara merdeka harus memenuhi sejumlah syarat. Di antaranya mempunyai pemerintahan, wilayah negara, tentara, lagu kebangsaan, bendera, dan pengakuan internasional.
 
"Untuk menjadi sebuah negara merdeka, hanya tinggal deklarasi dan pengakuan internasional saja," kata Ryamizard.

Kini, gerakan Papua Merdeka sudah mendapat dukungan 'internasional', paling tidak sudah ada dukungan dari dua anggota Parlemen Inggris, Hon Andrew Smith MP dan Lord Harries. Dengan demikian, kemungkinan Papua sudah tinggal sejengkal lagi untuk merdeka.

Tapi sejauh ini pemerintah masih menganggap remeh. Sikap ini ditunjukkan oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Keduanya menilai konferensi ILWP bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. 

"Kumpulan pengacara itu tidak begitu kuat, karena hanya dilakukan segelintir orang, di Papua mereka juga tidak mendapat antusiasme dari masyarakat," kata Purnomo.

Sementara Marty menilai tuntutan kemerdekaan Papua tidak akan pernah mendapat dukungan masyarakat luas ataupun pemerintah Inggris. Pemerintah Inggris senantiasa mendukung kebijakan otonomi khusus di Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar