Campur aduk berbagai kepentingan politik yang bahkan terkesan tidak berkaitan satu sama lain muncul dalam jejalan berita yang juga terpacu oleh derasnya hasrat kebaruan informasi.
Sejak akhir tahun lalu, seolah bersepakat, berbagai persoalan laten yang sebenarnya bukan tidak bisa diantisipasi, muncul tidak dalam hitungan hari tapi sudah memasuki hitungan jam jika dilihat dari macamnya. Konflik tanah yang terkenal paling rentan memicu konflik antar kelompok sosial. Konflik atau lebih tepatnya perilaku dari sebagaian grup dalam masyarakat yang melakukan intimidasi terhadap kelompok minoritas. Konflik politik karena perasaan ketidakadilan di daerah-daerah yang paling merasakan hal itu.
Belum lagi, hal itu diperburuk dengan pemerintahan atau orang bilang “negara” yang terkesan tidak hadir saat kehadirannya memang dibutuhkan. Perlindungan terhadap minoritas, mengkondisikan toleransi antar umat beragama, menyelenggarakan pendidikan tentang pluralisme, memelopori kebijakan-kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat yang paling membutuhkan, membangun rasa keadilan dari pilihan-pilihan strategi yang berpihak pada korban, melindungi warga negara dari kekerasan, menegakkan hukum, dan memberi perlindungan pada yang lemah, semuanya gamang, karena tidak adanya kepemimpinan.
Tapi memang banyak hal yang sangat penting dalam paragraf sebelum ini, adalah wujud ideal dari sebuah negara yang juga ada di angan-angan. Pada tataran kenyataan negara adalah praktek gerombolan segelintir yang kebetulan mendapat hak istimewa untuk mengambil kebijakan bagi konsensus masyarakat berbangsa. Walaupun dalam peradaban abad ini hak istimewa itu didapatkan bukan atas pemaksaan melainkan berdasarkan perwakilan hikmat kebijaksanaan atas nama demokrasi.
Kesalahan adalah pasti, tapi kebijakan yang tepat dan didukung dengan strategi kepemimpinan yang matang tentu akan membuat siapapun pemimpin negeri adalah orang yang memang pilihan.
Entah itu pilihan dari terbatasnya kandidat orang-orang terpilih, entah itu pilihan dari sebuah pentas di mana orang-orang pemimpin tidak lagi bisa dianggap super. Entah itu pilihan dari sebuah kebijakan besar yang benar-benar berdasar pada hal-hal yang sederhana, wajar, dan sesuai kenyataan. Bukan kebijakan yang berasal dari ilusi-ilusi pandangan tentang kejayaan masa lalu, ataupun janji-janji dari ideologi-ideologi yang tidak lebih dari perlambang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar